BULUNGAN POST DEDIKASI UNTUK TANAH KELAHIRAN

Asalkan mau belajar, tidak ada sesuatu yang tak bisa dikerjakan. Begitu kira-kira yang dilakukan Tiar Hermawan saat terpikir untuk membuat sebuah permainan atau game berlatar Pulau Bunyu yang diberi nama The Bunyu Island. Tanpa basic keilmuan information and technology (IT), nyatanya bukan jadi hambatan baginya.

RUSDIYONO, Tanjung Selor

PADA 3 Maret lalu, di aplikasi Playstore diluncurkan game “The Bunyu Island”. Game petualangan pertama yang berlatar cerita Pulau Bunyu di Kalimantan Utara. Game ini bercerita tentang dua karakter anak, Zi (6 tahun) dan Ze (1 tahun) yang mencari kedua orangtuanya, yang mendadak menghilang. Zi hanya menemukan secarik kertas bertuliskan “Bunyu”. Berbekal petunjuk itu petualangan pun dimulai.

Game ini menampilkan perjalanan menuju Pulau Bunyu. Diawali dengan melakukan penerbangan dari Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan (SAMS) Balikpapan menuju Tarakan. Kemudian, dari Tarakan melalui Pelabuhan Tengkayu, kita dibawa untuk melakukan perjalanan dengan speedboat selama 40 menit menuju Pulau Bunyu. Selama perjalanan ini, belum ada tantangan sama sekali.

Saat sampai di Bunyu, baru ditampilkan peta Pulau Bunyu yang harus dilewati. Berbagai tantangan harus dilewati. Untuk melangkah level berikutnya, kita harus mendapatkan sebuah kunci. Setiap level menggambarkan suasana Pulau Bunyu, mulai latar kilang minyak hingga Pantai Nibung.

Memainkan game ini terbilang mudah, terdepat dua tombol di sisi kiri bawah untuk maju dan mundur. Dan, satu tombol di sisi kanan bawah untuk melompat.

Sang kreator The Bunyu Island, Tiar Hermawan sudah lama memiliki keinginan membuat sebuah game. Terutama, karena dia sendiri memang suka bermain game.

Pria yang akrab disapa Tiar ini mengaku, tidak memiliki basic di bidang IT. Pendidikan dan pekerjaannya saat ini pun tidak berhubungan dengan IT. Namun, karena keinginannya untuk bisa membuat sebuah game, mau tidak mau dia akhirnya belajar tentang pembuatan game.

“Saya belajar secara otodidak. Sebelumnya sempat ingin kursus, tapi kemudian saya berpikir lagi, kalau kursus butuh waktu lama lagi. Akhirnya, saya putuskan belajar sendiri lewat Google, YouTube, dan teman. Hikmahnya juga, saat akan kursus komputer saya juga sedang hang, karena kursusnya secara online,” aku pria kelahiran Bunyu, 2 Desember 1984, Jumat (16/3) lalu.

Meski begitu, dia sendiri pada dasarnya sedikit banyak tahu tentang desain. Menurutnya, untuk orang awan tanpa basic IT akan kesulitan membuat game. “Saya memang suka desain, jadi tidak terlalu banyak belajar,” ujarnya.

Game The Bunyu Island dibuatnya dalam waktu satu bulanan. Game tersebut sejak Januari tahun ini sudah dikembangkan olehnya, namun dengan “menyicil”, belum terlalu fokus pembuatannya.

“Makanya, selesainya agak molor. Karena saya sendiri juga kerja di perusahaan properti. Tapi, kalau belajar membuat game-nya tidak sampai sebulan,” imbuhnya.

Yang paling sulit, diakunya adalah dalam hal koding. Misal, ada gerakan yang salah atau musiknya eror. Karena otodidak, ketika menemukan masalah dalam membuat game, dia juga mengandalkan ilmu dari Google, YouTube atau bertanya ke temannya.

“Jadi, saya kalau ditanya belajarnya dari mana, saya sampaikan kalau guru saya itu ada tiga. Yaitu, Pakde YouTube, Mbah Google dan teman-teman,” ungkapnya.

Tiar mengungkapkan, tantangan lain membuat game The Bunyu Island adalah mengunggahnya ke Playstore. Menurutnya, mengunggah game tidak semudah yang dibayangkan. Sejak awal, dia sudah berpikir pasti ada masalah di Playstore. Dan, memang benar bahwa ketika diunggah ke Playstore harus dilengkapi dengan tanda tangan si pembuat game. Kembali, ketika menemui masalah itu, dia selalu mengandalkan tiga gurunya itu. YouTube, Google, dan temannya.

“Alhamdulillah selalu dapat,” katanya.

Tiar mengatakan, game pertamanya ini dia dedikasikan untuk Pulau Bunyu. Tanah kelahirannya 33 tahun silam. Saat ingin membuat game, dia mengaku belum kepikiran tentang Bunyu. Namun, akhirnya setelah mendapatkan pencerahan, terpikirlah membuat game dengan latar cerita Pulau Bunyu.

Selain Pulau Bunyu, karakter anak di dalam game itu sendiri tak lain adalah dua anaknya sendiri. Zhidqie dan Zein. Nama anaknya itu pun yang kemudian dijadikan nama dua karakter pemainnya, Zi dan Ze. “Saya pikir saat itu, buat apa saya pakai karakter lain, pakai karakter dua anak saya saja. Dan, muncullah alur ceritanya seperti itu. Game ini saya pikir game idealis, karena isinya anak saya dan saya juga, tapi tidak menjelaskan detail tentang saya sendiri,” bebernya.

Game pertama yang dibuatnya ini, Tiar mengaku memang dibuat menggantung, tidak sampai selesai. Artinya, ke depan masih akan dibuat sambungannya. “Saya pikir di game ini hampir 50 MB, kalau saya teruskan bisa 100 MB, maka saya buat bersambung saja. Nanti untuk game keduanya sudah siapkan ide cerita lagi,” sambungnya.

Hingga saat ini, game The Bunyu Island sudah diunduh di Playstore lebih dari 900 kali. Menurutnya, angka tersebut termasuk besar, apalagi temanya yang seputar Pulau Bunyu. Banyak dari teman maupun gamer yang meminta agar game tersebut bisa dilanjutkan.

Banyak yang meminta di dalam game tersebut agar ditambah rintangannya. “Awalnya memang banyak rintangan. Tapi, kalau banyak gerakan, HP-nya harus mendukung, spesifikasinya harus tinggi, makanya saya kurangi pergerakannya, game-nya sebenarnya sederhana,” ungkap suami Desie Bayu Astuti ini.

Pria berkacamata ini memang bisa dibilang multitalenta. Sebelum membuat The Bunyu Island, dia juga dikenal sebagai pembuat die-cast atau miniatur MotoGP. Terutama untuk karakter Valentino Rossi. Bahkan, sejauh ini, sudah ada 10 negara yang membeli miniatur MotoGP buatannya.

Untuk miniatur MotoGP, dia mengaku ingin mengembangkannya lagi ke depan. Alasannya, Valentino Rossi pasti bakal pensiun dalam beberapa tahun mendatang. Sehingga, dia berpikir untuk membuat miniatur lain, yakni miniatur road race.

“Selain itu, saya juga sempat bermain musik juga. Sempat bikin album dan masuk acara televisi seperti Uya Kuya. Nama band-nya Permend yang berisi tiga anak muda Bunyu dengan album berjudul Kekuatan Rasa. Kalau tidak salah 2010, masuk program Uya Kuya dan lagu saya jadi backsound-nya,” sebutnya.

Meski lahir dan sempat tinggal di Bunyu, Tiar mengaku terakhir menginjakkan kaki di pulau penghasil minyak dan gas bumi itu pada 2003, atau 15 tahun lalu. Anak dari Aminuddin dan Mardiana ini meninggalkan Bunyu karena mengikuti orangtuanya yang bekerja di Pertamina dan pindah ke Balikpapan.

Keinginan untuk kembali ke kampung kelahirannya setelah 15 tahun selalu ada di benaknya. Apalagi, dia mendengar bahwa kondisi di Pulau Bunyu cukup memprihatinkan.

“Sebenarnya pengen ke sana, mau liput dan bikin video kenang-kenangan. Cuma momennya belum ada. Dulu bapak saya sempat nawari ke sana, tapi satu bulan, saya bilang itu terlalu lama. Pengen ke Bunyu lihat seperti apa kondisinya sekarang,” terangnya.

Tiar memiliki pesan kepada generasi muda yang ingin mengembangkan diri. Yakni, selalu belajar dan cari wawasan baru. Menurutnya, anak-anak saat ini sudah dimudahkan dengan berbagai teknologi. Sehingga, tidak ada kata tidak bisa dilakukan asalkan tetap mau belajar.

“Intinya jangan malu bertanya, gunakan teknologi dengan baik, dan jangan hanya melakukan satu hal saja,” pesannya. (*/fen)





 

Visitor